Dad, I want to be a doctor!
Hari ini saya diajak bertemu dengan class mate anak saya Kieran di SD kelas 5 dalam acara Career Day. Saya diundang untuk menceritakan bagaiman pekerjaan saya sebagai dokter. Ada sekitar 20an anak yang semuanya with sparkled eyes eager to know how to become a doctor. Seperti biasa saya membicarakan tentang who am I, how do I become who I am now, and what I do everyday.
These kids are so amazing! They are a so very expressive and keen to know a lot of things. Mungkin saya tidak bisa mengingat apakah saya berada pada posisi yang sama pada saat usia mereka dahulu. Ada yang bertanya bagaimana cara saya operasi, sekolahnya dimana, kalau hamil kenapa perut wanita besar, sampai saya berfikir, my gosh, they have a lot of things to insert and such wonderful creature children are that god has created we simply just pour all we want and they will absorb it.
Fase anak adalah masa dimana pemahaman terhadap persepsi sangat dipengaruhi lingkungan. Fase perkembangan anak yang saya observasi sebagai orangtua (bukan sebagai praktisi medis maupun psikolog) merupakan golden time untuk kita sadari bahwa apapun yang kita berikan termasuk kasih sayang akan menjadi goresan emas bagi pembentukan diri anak tersebut. Saya berpendapat lingkungan mempunyai peran besar dalam pembentukan jiwa tersebut, tetapi lingkungan yang paling dekat adalah orangtua. Disini saya menyadari bahwa kita masih mempunyai pengaruh (sengaja atau tidak disengaja) dalam menentukan karir dan pendidikan anak.
Kalau sebagian anak ditanyakan dari dahulu sampai sekarang dokter dan insinyur selalu menjadi one of the top list dari cita cita favorit anak anak. Kenyataannya kampus saya dahulu hanya menampung 150 mahasiswa kedokteran dari 10.000 applicants. Jumlah yang sangat sedikit untuk kesempatan seorang anak bercita cita. Tetapi dari sekian besar lulusan dokter masih banyak teman teman sejawat yang mempunyai nasib tidak beruntung yang harus bekerja lebih berat dari lulusan SMA dengan mempunyai pendapatan yang tidak lebih baik.
Saat ada anak yang bertanya ke saya, om sekolah berapa lama sih? Saya mulai menghitung, SD 6 tahun.. SMP/SMA 6 tahun… Kuliah dokter 6 tahun… Ambil spesialis 4 tahun… ambil subspesialis 2 tahun… Hmmm 24 tahun, lama juga ya.
Apakah anak saya masih ingin bercita cita kalau memang selama ini sekolahnya.
Well I do not regret the decision to become a doctor. Tetapi as a wise parent, kita memang perlu bijaksana dalam memberikan guidance yang tentu harapan yang terbaik bagi anak kita. Saya yakin tiap orang tua akan mepunyai harapan dan cara masing masing dalam membimbing putra putrinya. Dalam hal ini saya melihat bahwa anak anak memerlukan motivasi untuk mencapai cita cita, yang terkadang saya berfikir bagaimana cara orangtua saya memotivasi saya dahulu.
Memang dalam hati kecil saya berkata it would be nice kalau salah satu anak saya bisa menjadi dokter. Tetapi does it matter if they would not? No it does not. The point is, let them be what they would become but guide them in a track where you know they are not in a wrong pathway.